Korelasi antara Agama dengan pendidikan
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penetapan pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib di
sekolah-sekolah merupakan kebijakan yang sangat penting dalam pembangunan
nasional Indonesia. Hal ini mengingat bangsa Indonsia merupakan bangsa yang
berasaskan pancasila dan menjadikan Agama sebagai unsur penting dalam
pembangunan nasionalnya. Sejak awal kemerdekaan sampai saat ini pemerintah
menempatkan pendidikan Agama sebagai mata pelajaran inti di sekolah-sekolah,
baik di negri maupun swasta.
Jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional, pendidikan Agama
merupakan salah satu pelajaran yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional. Salah satu tujuan utama
pendidikan nasional seperti tercamtum dalam UUSPN adalah pembentukan manusia
yang bertaqwa dan berbudi pekerti luhur.
Kedua tujuan ini merupakan ciri dan watak dasar dari kepribadian bangsa
Indonesia. Arah pendidikan di Indonesia selalu mengedepankan aspek kepribadian
dalam semua jenjangnya. Kepribadian yang merupakan modal utama bagi setiap anak
didik dalam membangun masa depannya serta mampu menghadapi arus besar
globalisasi.
Dengan dasar pemikiran di atas, maka masalah pendidikan Agama merupakan
masalah yang komplek dan membutuhkan kerja keras dari semua elemen yang terkait
dengannya. Istilah pendidikan yang melekat pada nama pelajaran ini menuntut
guru sebagai pelaksana, tidak saja berusaha untuk mentransfer pengetahuan,
tetapi lebih dari itu ia harus berusaha agar pengetahuan yang disampaikannya
dapat terinternalisasi dalam diri para siswa.
Berbagai hasil penelitian yang dilakukan di sekolah-sekolah dan berbagai
fenomena nyata yang kita saksikan sekarang ini, menuntut semua stakeholder
pendidikan, yaitu guru, orangtua, dan masyarakat untuk lebih memaksimalkan lagi
dalam pembinaan mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud denga ilmu pendidikan dan Agama?
2.
Bagaimana hubungan ilmu pendidikan dengan Agama?
C.
Tujuan
1.
Memahami dengan baik ilmu pendidikan dan Agama
2.
Memahami dengan baik hubungan ilmu pendidikan dan Agama
3.
Memenuhi tugas Mata Kuliah Landasan Ilmu Pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik. Berdasarkan disiplinnya, Ilmu Pendidikan yaitu ilmu
pengetahuan yang dikembangkan melalui perenungan dan penelitian dengan
menggunakan metode verstehen bersifat kualitatif dan metode ilmiah lainnya yang
bersifat kuantitatif untuk melahirkan ilmu pendidikan sistematis, teoritis, dan
historis, serta menjadikan hakikat dan aktivitas manusia yang berdimensi nilai
filosofis, psikologis, sosiologis, antropologis, religious sebagai subjek
kajian utamanya.
Menurut Hamka pendidikan adalah proses
ta’lim dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah mengandung
arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan terutama pendidikan
Islam baik secara vertikal maupun horizontal. Prosesnya merujuk pada
pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik baik
jasmaniah maupun rohaniah.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan
adalah proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada
generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharan tetapi
juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah
keluhuran hidup kemanusiaan.
Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
2.2.
Jenis-jenis Pendidikan
Combs (1973) dalam
Mohammad Ali (2007), membedakan pengertian tiga jenis pendidikan itu sebagai
berikut:
Pendidikan Formal adalah kegiatan yang
sistematis, berstuktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar
sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk ke dalamnya
ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi,
dan latihan professional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.
Pendidikan Informal adalah proses yang
berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari,
pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengeruh kehidupan keluarga,
hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar,
perpustakaan, dan media masa.
Pendidikan nonformal ialah setiap
kegiatan terorganisasi dan sistematis. Di luar system persekolahan yang mapan,
dilakukan secara mandiri atau merupakan kegiatan penting dari kegiatan yang
lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di
dalam mencapai tujuan belajarnya.
2.1.1. Pendidikan Agama
Kata “Pendidikan Agama”
terdiri dari dua kata berbeda, yaitu “pendidikan” dan “agama”. Pendidikan
berasal dari kata “didik” yang diberi awalah “pe” dan akhiran “an” yang berarti
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan,
cara mendidik.
Pengertian pendidikan menurut istilah
adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh
orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak mempunyai
sifat-sifat dan tabi’at sesuai cita-cita pendidikan.
Sedangkan agama menurut Ensiklopedia
Indonesia diuraikan sebagai berikut: “Agama (umum), manusia mengakui dalam
agama adanya yang suci: manusia itu insaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang
memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Sehingga dengan demikian manusia
mengikuti norma-norma yang ada dalam agama, baik tata aturan kehidupan maupun
tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama kehidupan manusia
menjadi teratur, tentram dan bermakna. Sedangkan agama (wahyu) adalah agama
yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasulNya, kepada kitab-kitabNya
untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.
Dari beberapa pengertian di atas
dapatlah disimpulkan bahwa” pendidikan agama” adalah suatu usaha yang
ditunjukkan kepada anak didik yang sedang tumbuh agar mereka mampu menimbulkan
sikap dan budi pekerti yang baik serta dapat memelihara perkembangan jasmani
dan rohani secara seimbang dimasa sekarang dan mendatang sesuai dengan aturan
agama.
2.1.2. Akhlak, Moral dan Etika
Bila berbicara mengenai
moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara
tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan yang
telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha
yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam
lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena
akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Untuk
lebih jelasnya akan dijelaskan ketiga term di atas, yaitu: Akhlak, moral dan
etika.
Secara etimologi kata akhlak adalah
bentuk jama dari kata “khuluk”, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku atau tabiat, sedangkan menurut Ahmad Amin akhlak itu adalah kebiasaan
kehendak. Secara terminologi akhlak itu berarti “Sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah serta tidak
memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Ada pula yang mengartikan akhlak dengan
“Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa berfikir
dan melalui pertimbangan lebih dahulu”.
Dari dua pengertian di atas tampak bahwa
tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara keduanya.
Dalam masyarakat barat kata “akhlak” sering diidentikkan dengan “etika”,
walaupun pengidentikan ini tidak sepenuhnya benar, maka mereka yang
mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa “etika” adalah penyelidikan
tentang sifat dan tingkah laku lahiriah manusia. Sedangkan akhlak menurut M.
Quraish Shihab lebih luas maknanya dari etika serta mencakup beberapa hal yang
tidak merupakan sifat lahiriyah, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin
maupun pikiran.
Terlepas dari semua pengertian di atas,
kata akhlak dalam penggunaannya sering disamakan dengan kata “moral” dan
“etika”. Istilah moral yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin, yaitu “mores”
yang berarti adat kebiasaan, sedangkan etika berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
“ethos”, yang berarti kebiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal
dengan arti susila. Moral mengandung arti praktis, ia merupakan ide-ide
universal tentang tindakan seseorang yang baik dan wajar dalam masyarakat. Pada
dasarnya akhlak, etika dan moral memiliki arti yang sama, ketiganya sama-sama
berbicara tentang baik dan buruk perbuatan manusia.
Dari pengertian diatas dapat di
simpulkan bahwa Akhlak (etika atau moral) adalah budi pekerti, sikap mental
atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir
dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan melahirkan
perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau perbuatan buruk.
2.1.3. Peserta Didik
Peserta didik adalah
orang yang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Peserta didik adalah hal
yang paling penting dalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik,
pendidikan tidak akan berlangsung. Lalu apakah benar anak dapat di didik? Untuk
menjawab pertanyaan ini para ahli berbeda pandangan.
Aliran Nativisme, mempunyai pandangan
bahwa anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak
sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari pendidikan.
Berbeda halnya dengan aliran empirisme yang mempunyai pandangan bahwa
perkembangan jiwa anak sangat ditentukan oleh pendidikan atau dengan kata lain
baik buruknya anak sangat tergantung pada pendidikan yang diterimanya.
Oleh karena kedua aliran ini terasa
kurang memuaskan dalam hal pemberian pendidikan pada anak, maka yang menamakan
dirinya aliran convergensi menepis kedua pendapat di atas, dengan mengatakan
bahwa perkembangan jiwa anak sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan
yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad
SAW, bahwa “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah
(kecenderungan untuk percaya kepada Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang
menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”.
Hadits ini mengisyaratkan kepada kita
bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung
kepada pendidikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan
baik, maka mereka akan menjadi oranng yang taat beragama. Tetapi sebaliknya,
bilamana benih agama yang telah dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik,
maka anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.
2.3.
Tujuan, Fungsi, dan Ruang Lingkup PAI
Secara umum tujuan
pendidikakn Agama Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikkan Agama Islam seperti Al-Attas
(1979:1) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menjadi manusia
yang baik, kemudian Al-Abrasyi (1974:15) menjelaskan untuk membentuk manusia yang
berakhlak mulia. Kemudian dalam konferensi dunia Islam pertama tentang
pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan umum pendidikan Islam
adalah; “manusia yang menyerahkan diri kepada Allah secara muthlak (Asyraf,
1989:2). Secara lebih rinci Al-Abrasyi (1977:17) menjelaskan tujuan akhir
pendidikan Islam adalah: 1). Pembinaan akhlak; 2). Menyiapkan anak didik untuk
hidup di dunia dan akhirat; 3). Penguasaan ilmu; dan 4). Keterampilan bekerja
dalam masyarakat. Berbagai kriteria ini dijadikan sebagai pedoman dalam
penjabaran pendidikan Islam. (Mohammad Ali, 2007:644).
Sedangkan fungsi pendidikan Agama Islam
adalah untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. serta
membiasakan siswa berakhlak mulia. Hal tersebut sesuai dengan fungsi pendidikan agama seperti yang
diungkapkan Darajat (2001:174) adalah untuk: 1) Menumbuhkan rasa keimanan yang
kuat; 2). Menanamkembangkan kebiasaan dalam melakukan amal ibadah, amal shaleh
dan akhlak mulai; dan 3). Menumbuhkembangkan semangat untuk mengolah alam sekitar
sebagai anugrah Allah Swt.
2.3.1. Tujuan Pengajaran Pendidikan
Agama (Islam)
Pengajaran adalah suatu
proses yang didasarkan kepada tujuan. Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan
dapat diartikan sebagai suatu usaha memberikan hasil yang diharapkan dari siswa
setelah mereka menyelesaikan pengalaman belajar. Tujuan ini sangat penting
karena merupakan pedoman untuk mengarahkan kegiatan belajar.
Ada tiga alasan mengapa tujuan
pengajaran itu perlu dirumuskan, yaitu:
Jika suatu pekerjaan atau suatu tugas
tidak disertai tujuan yang jelas dan benar, akan sulitlah untuk memilih atau
merencanakan bahan dan strategi yang hendak ditempuh atau dicapai.
Rumusan tujuan yang baik dan terinci
akan mempermudah pengawasan dan penelitian hasil belajar sesuai dengan harapan
yang dikehendaki dari subyek belajar.
Perumusan tujuan yang benar akan
memberikan pedoman bagi siswa atau subyek belajar dalam menyelesaikan materi
dan kegiatan belajar.
Rumusan tujuan senantiasa merupakan
sifat yang sangat bermanfaat dalam perencanaan dan penilaian sutau program
belajar mengajar. Demikian pula dengan pengajaran Pendidikan Agama Islam, agar
proses pengajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien, berdasarkan pada
tujuan.
Menurut Mahmud Yunus, tujuan Pendidikan
Agama Islam dalam segala tingkat pengajaran umum sebagai berikut:
1.
Menanamkan perasaan cinta dan taat
kepada Allah SWT, dalam hati anak-anak.
2.
Menanamkan i’tikad yang benar dan
kepercayaan yang benar dalam diri anak-anak.
3.
Mendidik anak-anak dari kecil supaya
mengikuti seruan Allah SWT dan meninggalkan segala larangannya.
4.
Mendidik anak-anak dari kecil berakhlak
mulia.
5.
Mengajar pelajaran-pelajaran supaya
mengetahui macam-macam ibadah yang wajib dikerjakan dan cara-cara melakukannya
serta mengetahui hikmahnya, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
6.
Memberi contoh dan suri tauladan yang
baik.
7.
Membentuk warga negara yang baik dan
masyarakat yang baik, yang berbudi luhur dan berakhlak baik serta berpegang
teguh pada ajaran agama Islam.
Tujuan Pendidikan Agama Islam merupakan
tujuan yanng hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan Pendidikan
Agama Islam, karena dalam pendidikan agama yang diutamakan adalah keimanan yang
teguh, sebab iman yang teguh akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban
agama.
Tujuan tersebut mengandung arti bahwa
Pendidikan Agama Islam itu menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya
maupun masyarakat dan yang bersangkutan senang mengamalkan dan mengembangkan
agama Islam serta mampu memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya.
2.3.2. Ruang Lingkup Pendidikan Agama
Islam
Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, Pendidikan Agama Islam memiliki arti penting terutama dalam
rangka mendidik kepribadian seseorang sesuai ajaran Islam. Bahkan dasar
hukumnya cukup jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadits, untuk selalu dipelajari dan
ditanamkan oleh setiap muslim dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena
itulah yang akan menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Prof. Dr. H. M. Arifin, M.Ed.,
menjelaskan tentang ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang dilakukan secara
konsisten dan berkesinambungan dalam lapangan hidup, meliputi:
Lapangan hidup keagamaan, Lapangan hidup
berkeluarga, Lapangan hidup ekonomi, Lapangan hidup politik, Lapangan hidup
kemasyarakatan, Lapangan hidup seni dan budaya, Lapangan hidup ilmu pengetahuan
Pendidikan Islam harus
di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup
Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral
maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya
sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk
manusia yang: (1) memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3)
menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilan yang memadai.
BAB
III
HUBUNGAN
ILMU PENDIDIKAN DAN AGAMA
3.1. Hubungan Pendidikan dengan Agama
Agama menyiapkan norma hidup yang
komprehensif yang melandasi tujuan pendidikan. Norma ini bersifat stabil karena
berpangkal pada norma absolut, berasal dari Allah Swt. yang secara berangsur
disadari manusia dalam lingkup waktu dan tempat (Ashraf, dalam Al-Attas
1978:xii). Agamalah yang menyiapkan dan melahirkan tujuan pendidikan yang
sangat bermakna, sebab tujuann tersebut diwahyukan kepada Rasul yang berpangkal
pada tujuan diciptakannya manusia.
Pendidikan sangat erat
kaitannya dengan Agama. Bahkan Agama merupakan landasan terpenting bagi
pendidikan. Ilmu pendidikan berlandaskan agama mengandung makna bahwa agama itu
menjadi sumber inspirasi untuk menyusun ilmu atau konsep-konsep pendidikan dan
melaksanakan pendidikan. Teori pendidikan Islam berangkat dari al-Qur’an dan
As-Sunnah, sehingga ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasul itu dijadikan landasan
dalam keseluruhan sistem pendidikan.
3.2. Makna dan Tujuan Pendidikan
Agama memberikan landasan pemikiran
berkenaan dengan manusia, siapa dirinya, dari mana asalnya, mau kemana dirinya,
dan apa yang diperbuat manusia dalam kehidupan di dunia ini. Atas landasan itu
para pakar pendidikan dapat menyusun dasar dan tujuan pendidikan yang utuh,
konprehensif dan mendalam. Rumusan tujuan itu dijabarkan menjadi tujuan yang
lebih khusus lagi dan dapat memilih materi yang lebih cocok dengan tujuan itu.
Kontribusi dalam temuan berbagai ilmu, psokologi, sosiologi, sains dan ilmu
lain dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam upaya mencapai tujuan pendidikan
itu.
Agama mengatur seluruh aspek
kehidupan pemeluknya sebagai individu, anggota masyarakat serta lingkungannya.
Agama merupakan penghambaan manusia terhadap Tuhannya. Agama bersifat dogmatis,
otoriter serta imperatif sehingga setiap pemeluknya harus mentaati aturan,
nilai serta norma yang ada di dalammnya.
Aturan-aturan tersebut bersifat
mengikat dan berfungsi sebagai pedoman bagi pemeluknya untuk mencapai
kebahagian yang diidamkannya. Bila aturan tersebut dilanggar maka dampaknya
bukan hanya pada individual saja tetapi juga lingkungan sekitar.
Agama dalam konsep-konsep di atas
bersifat universal dan sederhana. Konsep-konsep tersebut diharapkan dapat
dikenakan kepada semua agama yang dikenal selama ini. Bila konsep-konsep
tersebut dipaksakan sama untuk semua agama, maka konsekuensi yang diterima
adalah adanya pluralisme agama. Padahal tidak semua agama menyepakati adanya
pluralisme.
Bila berbicara tentang agama
maka tidak akan pernah lepas dari pendidikan. Agama selalu bersifat pendidikan
karena di dalamnya ada transfer ilmu dan pengetahuan yang bersifat dogmatis.
Lain halnya bila berbicara tentang pendidikan maka tidak selalu berkaitan
dengan agama. Namun dalam proses pendidikan maka pendidikan harus sejalan
dengan agama dan saling melengkapi sehingga output yang dihasilkan oleh
pendidikan bersifat syamil/menyeluruh/paripurna. Hal ini sesuai dengan Visi
Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2025 yaitu menghasilkan insan Indonesia
Cerdas dan Kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Yang dimaksud dengan insan
Indonesia Cerdas adalah cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual, cerdas
emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Pembentukan manusia yang Cerdas dan
Kompetitif tidak semata dilakukan hanya dengan transfer ilmu dan pengetahuan
saja tetapi juga penanaman nilai-nilai moral yang sesuai dengan nilai dan norma
yang terdapat di dalam agama. Hal ini dilakukan agar output pendidikan yang
dihasilkan tidak hanya cerdas secara ilmu dan pengetahuan tetapi juga memiliki
akhlak dan moral yang baik. Akhlak dan moral inilah yang menjadi penyeimbang
dan penggerak output pendidikan sehingga tidak lepas control dan tidak menjadi
sombong dengan hasil yang dicapainya. “Science without religion is blind, and
religion without science is lame”. (Albert Einstein)
3.2. Pendidikan Berbasis Agama;
Membangun Moral/Etik Peserta Didik
Seperti yang telah
dijabarkan di atas bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas
secara lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke
depan. Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk
jiwa-jiwa berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak
hidupnya baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa
pendidikan akan membawa perubahan pada setiap orang sesuai dengan tata aturan.
Selain itu agama juga mempunyai peran
penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang menganjurkan
umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan istilah long
life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan. Misalnya wahyu
pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah tentang pendidikan, yaitu
bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain bahkan dunia
dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan). Oleh sebab itu
pendidikan agama (Islam) akan memberi “imunisasi” pada jiwa seseorang untuk
selalu berada dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri,
yang selalu mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya.
Pendidikan agama pada dunia pendidikan
merupakan modal dasar bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, karena
dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang muamalah, ibadah dan
syari’ah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah yang menjadikan
pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai agama pada anak.
Sebagai contoh, Allah Swt. menganjurkan
umatnya untuk bershadaqah, dengan shadaqah anak didik diharapkan peduli dengan
masyarakat sekitar yang membutuhkan uluran tangah/bantuan. Shadaqah ini
mengajarkan nilai-nilai sosial (muamalah) dalam berinteraksi di masyarakat.
Dengan shadaqah seorang anak didik akan merasakan bahwa “saling membutuhkan”
pada setiap orang adalah ciri dari kehidupan. Ini merupakan contoh kecil dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dari contoh di atas mengajarkan
“simbiosis mutualisme” dalam kehidupan yang menjadikan suatu bukti bahwa betapa
pentingnya nilai-nilai agama diajarkan kepada anak, dimana dalam dunia
pendidikan dicakup dalam satu bidang garapan yaitu pendidikan agama. Pendidikan
agama dalam kehidupan tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di
sekolah, melainkan juga orang tua sebagai contoh nyata dalam kehidupan anak.
Bagaimana mungkin anak akan menjadi baik, jika orang tuanya hidup dalam
ketidakbaikan. Oleh karena itu pendidikan agama harus ditanamkan kepada anak
dimanapun ia berada, baik formal maupun non formal.
Secara teoritis seharusnya pendidikan
agama dapat membentuk kepribadian anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan
agama yang endingnya iman dan taqwa kepada Allah Swt. Jika seseorang sudah
beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan
mencerminkan nilai-nilai agama, menjalankan segala yang diperintah dan
meninggalkan semua yang dilarang. Seiring dengan itu maka moral/etika pun akan
tercermin di dalamnya. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertaqwa
misalnya, menggunakan narkoba atau hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini
menjadi bukti bahwa jika seorang anak telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai
agama yang kuat, maka sudah dapat dipastikan moral/etika pada orang tersebut
akan terbentuk dengan sendirinya, mengikuti irama iman dan kualitas taqwa yang
ada padanya.
BAB
IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Landasan Agama pada pendidikan memberi perspektif filosofis yang
seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta
melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya
mempelajari tentang agama, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi,
antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan
konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka
konseptual kependidikan.
Akhirnya, sebagai tenaga professional
guru dan tenaga kependidikan harus
memperoleh persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi
oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran
dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu
pendidikan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu
pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan Agama, dan pendidikan agama
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak didik. Oleh karena itu
orang tua/pendidik haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Pendidikan agama hendaklah diberikan
kepada anak sedini mungkin, ajarilah dari hal-hal yang kecil sesuai dengan
tuntunan agama.
2.
Pelajaran pendidikan agama bukan
merupakan science semata, melainkan ilmu amaliah tercakup di dalamnya.
3.
Anak cenderung mengikuti apa yang
dilihatnya dari orang dewasa oleh karena itu hendaknya orang-orang tua
membiasakan berprilaku keseharian dengan akhlakul karimah, baik perkataan
maupun perbuatan.
Demikianlah makalah ini saya tulis,
semoga apa yang menjadi tujuan pendidikan dapat tercapai dan dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar
Pustaka
Undang-undang SISDIKNAS, UU RI Nomor 20
tahun 2003
Natawidjaya, Rochman, et.all 2008.
Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, cet.I, Bandung: UPI Press.
Rilaar, H.A.R, 2008. Kebijakan
Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.I Agustus
Suryadi, Ace, 2002. Pendidikan,
Investasi SDM, dan Pembangunan; Isu, Teori, dan Aplikasi, Jakarta: Balai
Pustaka, cet.II.
Budimansyah, Dasim, 2009. Pradigma Pembangunan
Pendidikan Nasional; Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan
Publik, Bandung: Widya Aksara Press. Cet.I, Oktober
Sallis, Edward, 2006. Total Quality
Management in Education, Jogjakarta: IRCiSoD, cet.IV. Desember
Ali, Mohammad, 2007. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, Bandung: Pedagogiana Press.
Husaini, Adian, 2005. Wajah Peradaban
Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani
Hikmat, 2009. Manajemen Pendidikan,
Bandung: Pustaka Setia.
No comments:
Post a Comment